Detail, kronologis, dan mendebarkan!! Tiga kata ini setidaknya bisa mewakili buku baru terbitan Maret berjudul "Haji Nekad."
Buku ini berisi kumpulan tulisan bersambung wartawan Jawa Pos, Haji Bahari. Ia melakukan ibadah haji melalui jalur darat.
Saya menjumpai buku ini kemarin. Tak pikir panjang, saya langsung membelinya. "Pasti menarik," kataku.
Adam bertanya, "Buku siapa Yah?" "Pak Haji Brekele. Tuh dulu yang pernah bentak Adam."
Saya dan Bahari, saat dia di Jakartan memang lebih mirip perangko dan sampul surat daripada hanya sekadar sahabat. Kami bertetangga. Satu rmah dibelah dua, di Jalan Adam, Kebayoran Lama. Pergi liputan bersama. Ke lokasi bareng. Pulang boncengan Tiger besar mirip Moto-GP. Hanya tidur saja yang kita pisah ranjang hehe.
Saya kenal wataknya. Juga kesehariannya. Saat saya punya anak pertama dan lagi senang-senangnya, Adam usia 2 tahun, baru bisa jalan, Brekele, begitu kami saling menyapa, membentak (ngagetin) Adam. Saya mbesengut. Arek cilik digedak, kaget!! Saya kuatir sawanen!! Sebagai Bapak anyar, saya senewen betul.. Hehe.... tapi itulah romantika persahabatan.
Saya belajar banyak pada Bahari. Tulisannya maknyus. Bukan itu saja. Proses menggali informasi, kegigihannya menembus sumber, dan merangkai pertanyaan, duhh...nggak ada duanya. Juga idealismenya. "Ini yang mahal." Idealisme!!
Dia nyaris nggak peduli pada aturan redaksi. Apalagi sama atasannya. Jika dirasakan gak masuk akal, siap-siap dapat perlawanan sengit darinya. Baginya, wartawan itu independen dan idealis, bertanggung jawab. Ini tak bisa ditawar.
Saya amat bersyukur tandem dengannya. Kejeliannya patut diacungi jempol. Juga keberaniannya. Itu pula yang membawa saya berani masuk ke sarang Soeharto, presiden junta militer orde baru. Nekad!!
Bahari sebelum ke Mekkah juga perag menguji nyalinya ke Afghanistan. Saat AS menyerang ke negeri "Osama" itu. Di saat watawan lain melaporkan dari perbatasan, Bahari berhasil berpetualang dengan komandan lapangan Taliban. Cak Sol bisa cerita banyak soal ini.
Saat OPM mengganas, dia berhasil mask ke kota tembaga pura yang sanggat tertutup. Ada banyak akalnya untuk mengelabuhi petugas.
Buku ini merupakan petualangan lainnya. Juga uji nyalinya. Mati? Jangan tanya. Dia selalu bilang, "Mati takdir Ilahi. Di mana pun bisa mati. Bahkan di kasur saat senang-senang sama lonthe!!"
Awalnya memegang buku ini saya langsung membuka halaman saat Bahari ingin memasuki Myanmar. Awalnya saya menggerutu. "Tulisan brekele kok jadi kaku begini." Saya khawatir campur tangan redaktur membuat tulisannya garing dan sakral. Biasanya renyah dan mengalir. Tapi saya teruskan membaca pada bab yang saya penasaran. (Saya memang jarang membaca buku secara berurutan, kecuali buku yang saya anggap harus dibaca dari depan seperti buku Adolf Hitler: Mein Kampf. Awalnya saya baca di halaman 722, tapi akhirnya saya putuskan membaca dari bab awal).
Tulisan reportase ini menarik. Sangat detail dan kronologis. Lengkap dengan kisah-kisah petualangan yang menegangkan.
Sayang, Bahari tipe wartawan sejati. Dia jarang melibatkan emosinya di sini. Wartawan selalu melaporkan kejadian. Sulit sekali menukilkan emosinya sendiri, perasaannya sendiri, yang menyertai peristiwa. Intinya "nggak boleh onani."
Namun, andai sedikit diberi polesan emosisnya, saya yakin buku ini tambah menarik. Saat dia tak bisa masuk Myanmar. Saat perjalanan di kopaja bersama mahasiswa, bejibun barang bawaan, dan tak bisa bergerak, saat akan ditahan imigrasi, dan saat memasuki kota Mekah. Saya jadi ingat tulisan Prof Ela. Gaya reportase prof ela lebih mengumba emosinya daripada melaporkan peristiwanya. Ini terjadi karena beda tujuan ketika tulisan dibuat. Bahari menulis untuk pembaca JP. Prof ela menulis untuk dirinya sendiri. Syukur syukur dibaca miliser.
Buku ini penting dibaca calon penulis, siswa sd, sm, sma, mahasiswa. Setidaknya bisa dipakai pijakan bagaimana cara menulis reportase ang menarik dan menegangkan!
Bravo Pak Haji Brekele..!!
Salam
Habe Arifin
Revolusi Putih: mengganyang kebodohan, mencerdaskan bangsa
Buku ini berisi kumpulan tulisan bersambung wartawan Jawa Pos, Haji Bahari. Ia melakukan ibadah haji melalui jalur darat.
Saya menjumpai buku ini kemarin. Tak pikir panjang, saya langsung membelinya. "Pasti menarik," kataku.
Adam bertanya, "Buku siapa Yah?" "Pak Haji Brekele. Tuh dulu yang pernah bentak Adam."
Saya dan Bahari, saat dia di Jakartan memang lebih mirip perangko dan sampul surat daripada hanya sekadar sahabat. Kami bertetangga. Satu rmah dibelah dua, di Jalan Adam, Kebayoran Lama. Pergi liputan bersama. Ke lokasi bareng. Pulang boncengan Tiger besar mirip Moto-GP. Hanya tidur saja yang kita pisah ranjang hehe.
Saya kenal wataknya. Juga kesehariannya. Saat saya punya anak pertama dan lagi senang-senangnya, Adam usia 2 tahun, baru bisa jalan, Brekele, begitu kami saling menyapa, membentak (ngagetin) Adam. Saya mbesengut. Arek cilik digedak, kaget!! Saya kuatir sawanen!! Sebagai Bapak anyar, saya senewen betul.. Hehe.... tapi itulah romantika persahabatan.
Saya belajar banyak pada Bahari. Tulisannya maknyus. Bukan itu saja. Proses menggali informasi, kegigihannya menembus sumber, dan merangkai pertanyaan, duhh...nggak ada duanya. Juga idealismenya. "Ini yang mahal." Idealisme!!
Dia nyaris nggak peduli pada aturan redaksi. Apalagi sama atasannya. Jika dirasakan gak masuk akal, siap-siap dapat perlawanan sengit darinya. Baginya, wartawan itu independen dan idealis, bertanggung jawab. Ini tak bisa ditawar.
Saya amat bersyukur tandem dengannya. Kejeliannya patut diacungi jempol. Juga keberaniannya. Itu pula yang membawa saya berani masuk ke sarang Soeharto, presiden junta militer orde baru. Nekad!!
Bahari sebelum ke Mekkah juga perag menguji nyalinya ke Afghanistan. Saat AS menyerang ke negeri "Osama" itu. Di saat watawan lain melaporkan dari perbatasan, Bahari berhasil berpetualang dengan komandan lapangan Taliban. Cak Sol bisa cerita banyak soal ini.
Saat OPM mengganas, dia berhasil mask ke kota tembaga pura yang sanggat tertutup. Ada banyak akalnya untuk mengelabuhi petugas.
Buku ini merupakan petualangan lainnya. Juga uji nyalinya. Mati? Jangan tanya. Dia selalu bilang, "Mati takdir Ilahi. Di mana pun bisa mati. Bahkan di kasur saat senang-senang sama lonthe!!"
Awalnya memegang buku ini saya langsung membuka halaman saat Bahari ingin memasuki Myanmar. Awalnya saya menggerutu. "Tulisan brekele kok jadi kaku begini." Saya khawatir campur tangan redaktur membuat tulisannya garing dan sakral. Biasanya renyah dan mengalir. Tapi saya teruskan membaca pada bab yang saya penasaran. (Saya memang jarang membaca buku secara berurutan, kecuali buku yang saya anggap harus dibaca dari depan seperti buku Adolf Hitler: Mein Kampf. Awalnya saya baca di halaman 722, tapi akhirnya saya putuskan membaca dari bab awal).
Tulisan reportase ini menarik. Sangat detail dan kronologis. Lengkap dengan kisah-kisah petualangan yang menegangkan.
Sayang, Bahari tipe wartawan sejati. Dia jarang melibatkan emosinya di sini. Wartawan selalu melaporkan kejadian. Sulit sekali menukilkan emosinya sendiri, perasaannya sendiri, yang menyertai peristiwa. Intinya "nggak boleh onani."
Namun, andai sedikit diberi polesan emosisnya, saya yakin buku ini tambah menarik. Saat dia tak bisa masuk Myanmar. Saat perjalanan di kopaja bersama mahasiswa, bejibun barang bawaan, dan tak bisa bergerak, saat akan ditahan imigrasi, dan saat memasuki kota Mekah. Saya jadi ingat tulisan Prof Ela. Gaya reportase prof ela lebih mengumba emosinya daripada melaporkan peristiwanya. Ini terjadi karena beda tujuan ketika tulisan dibuat. Bahari menulis untuk pembaca JP. Prof ela menulis untuk dirinya sendiri. Syukur syukur dibaca miliser.
Buku ini penting dibaca calon penulis, siswa sd, sm, sma, mahasiswa. Setidaknya bisa dipakai pijakan bagaimana cara menulis reportase ang menarik dan menegangkan!
Bravo Pak Haji Brekele..!!
Salam
Habe Arifin
Revolusi Putih: mengganyang kebodohan, mencerdaskan bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar