Oleh EKO PRASETYO
KERTAS-kertas polos yang masih perawan karena belum tersentuh tinta pena itu berserakan di mana-mana. Buku dan majalah berhamparan tak keruan. Baju dan celana terletak cuek di atas kasur. Kamarku lebih mirip kapal pecah. Aku sendiri tak berselera untuk merapikannya meski sebentar saja.
Kepalaku pusing karena otak ini sangat lelah dan tak kuat lagi diajak bercengkerama tentang ide-ide baru. Padahal, memoku telah menyalak-nyalak bak beker yang tak henti berdenting. Membangunkan kembali alam pikiranku yang terbuai oleh rasa penat. Agenda demi agenda telah menunggu besok.
Sial! Tugas jurnalistik ini selalu saja berhasil membuatku menggerutu. Nyerocos dan menyesali diri sendiri yang kurang kreatif menggali informasi, lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Alhasil, aku hanya bisa pasrah malam ini. Aku tak tahu besok harus menulis dan meliput berita menarik apa lagi. Padahal, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengatur jadwal dan membuat agenda sebaik-baiknya.
Tapi, itu lah, kadang rasa lelah mampu menghentikan barikade kerja otak ini.
Memang, aku selalu berusaha bekerja secara maksimal. Namun, selama ini aku merasa bahwa berita-beritaku yang termuat itu datar-datar saja. Kurang menggigit dan jarang mengisi halaman paling depan di koran tempatku bekerja. ”Dasar jurnalis kelas tempe!” gerutuku menyesali diri sendiri. Ya, gagal mendapatkan ide ibarat kehilangan sesuatu barang yang berharga bagiku. Apalagi, ide itu seperti manikam di pekerjaanku yang memang sangat mengidolakan ide-ide segar.
Kendati begitu, aku selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa membuat suatu liputan khusus yang lain. Sesuatu yang membuatku tertantang dan bertualang. Oh, bilamana saat itu tiba, tentu aku dengan segenap hati akan menyambutnya gembira.
Krrrriinnngggg... Lamunanku buyar seketika. Dobol![i] Bunyi dering telepon itu nyaris membikin jantungku melompat dari tempatnya.
”Mas, mulai saat ini kita sudahi saja hubungan kita. Tolong jangan dekati aku lagi. Aku mohon.”
Suara yang terdengar jelas itu milik Lastri. Namun, kalimat yang baru saja ia ucapkan seperti petir yang menyambar-nyambar di tengah awan gelap yang bergulung-gulung di atas langit. Dengan cepat, kalimat itu membuat hatiku gelap.
Aku terkesiap. Aku tidak siap mendengarnya. Sungguh kepalaku seperti terhunjam air terjun. Sangat tersentak.
”Ada apa Lastri? Mengapa kamu bicara seperti itu? Tolong katakan apa yang telah terjadi sebenarnya.” Bibirku bergetar saat mengucapkan pertanyaan tersebut.
”Maaf, aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Mas.”
”Kenapa Lastri?”
”Sudahlah jangan mencecarku. Aku tak siap mengatakannya saat ini,” suaranya terdengar memohon di seberang sana.
”Oke, baik. Tapi, aku ingin bertemu denganmu. Katakan saja kapan kamu bisa dan di mana kita dapat berjumpa. Aku ingin kita bicara dengan tenang. Tidak dengan suasana seperti ini.”
Oh, syukurlah. Di kala pikiranku terasa buntu karena memikirkan tugas jurnalistik, aku masih bisa berpikir dan bersikap tenang menghadapi Lastri.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana raut Lastri saat mengucapkan kalimat itu. Yang pasti, suaranya terdengar parau dan menahan tangis. Seperti memendam kesedihan yang amat dalam.
”Baik, Mas temui aku Minggu sore lusa di rumahku.”
Selepas kalimat pendek itu, Lastri mengucapkan salam dan menyudahi percakapan kami di telepon.
Semoga saja aku bisa meluangkan waktuku untuk bertemu dengannya. Harus bisa! Jika tidak, aku akan menorehkan tinta hitam paling kelam sepanjang hayatku dan mencoreng nama orang tuaku. Pasalnya, aku dan Lastri sudah merencanakan menikah Agustus mendatang. Kalender yang tertempel di dinding kamarku menunjukkan saat ini memasuki bulan Mei. Itu berarti aku akan mengakhiri masa lajangku tiga bulan lagi.
Sementara orang tua kami sudah sama-sama merestui hubunganku dan Lastri. Aku sendiri belum lama mengenal Lastri, baru beberapa bulan. Pertemuan pertama kami terjadi saat aku meliput berita kecelakaan yang menewaskan seorang pria berumur 30 tahunan. Ia meninggal setelah tertabrak kereta api di perlintasan palang pintu. Aku lantas mewawancarai keluarganya. Termasuk istri korban yang tak lain adalah Lastri. Sejak saat itu kami sering berkomunikasi. Aku selalu berusaha menghiburnya.
Di luar sifatnya yang tampak pendiam, ia ternyata pribadi yang menyenangkan. Ngomong apa saja nyambung. Pintar dan menarik. Karena itu, meski hubungan kami ibarat seumur jagung, aku sudah mantap untuk melamarnya.
Semula, bapak melarang hubunganku dengan Lastri. Alasannya, Lastri sudah pernah menikah dua kali alias janda. Dua kali membina rumah tangga, dua kali pula bahtera Lastri kandas. Namun, penyebabnya bukan kekerasan dalam rumah tangga ataupun perselingkuhan karena orang ketiga. Lastri terpaksa menjanda karena suaminya meninggal. Tidak hanya yang pertama, suami keduanya mengalami nasib serupa yang beritanya aku liput tersebut.
Sayangnya, aku tak mendapatkan penjelasan lebih detail soal penyebab kematian suami pertama Lastri. Aku sendiri tak ambil pusing dengan hal itu dan status Lastri. Toh, kedua orang tuaku akhirnya merestui hubungan kami meski sempat mencegahku.
***
PAGI ini kubuka koran. Ada dua berita dari tulisanku tentang liputan kesehatan dan pendidikan yang termuat di situ. Lumayanlah. Tubuhku masih agak lelah.
Aku bersiap untuk melakukan liputan pagi itu. Namun, kejadian tadi malam mengganggu pikiranku. Ucapan perpisahan dari Lastri terus terngiang-ngiang di telingaku.
”Ah, sudahlah. Aku harus semangat hari ini karena Minggu nanti akan bertemu dengan Lastri,” tegasku dalam hati. Aku tidak mau pikiran itu menghambat pekerjaanku. Apalagi, sebentar lagi aku akan menanggalkan status jomblo dan aku tak boleh gagal!
***
SORE yang kutunggu itu akhirnya tiba. Aku bergegas untuk berangkat ke rumah Lastri. Membawa setangkup rindu dan rasa penasaranku.
Setiba di rumahnya, ia tampak sudah menunggu di depan pintu. Tak sepatah kata pun yang keluar darinya. Ia hanya tersenyum melihatku. Aku memaknainya sebagai isyarat yang mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.
Sejenak Lastri minta izin masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia muncul kembali dengan membawakan segelas teh hangat dan mempersilakan aku meminumnya.
Rumah itu tampak sepi. Ia bilang bahwa orang tuanya tengah pergi ke rumah kerabat yang tak jauh dari situ.
Aku sejenak memperhatikan wajahnya. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak saat itu. Aku merasakan tubuhku seperti tersentuh api. Panas. Tetapi, aku menahan diri.
”Mas, berjanjilah kepadaku atas apa pun yang akan aku katakan ini. Aku akan menceritakan yang sebenarnya padamu, tetapi berjanjilah untuk menjauhiku.” Lastri mengusap air mata yang diam-diam menetes di wajahnya yang bersih.
”Kenapa Lastri? Bukankah kita akan segera menikah? Mengapa begitu cepat engkau mengubah keputusan?”
”Justru ini aku lakukan karena aku begitu mencintaimu. Aku tahu engkau bersungguh-sungguh mencintaiku,” ucapnya sembari sesenggukan.
Perasaanku semakin tidak menentu. Aku tak tahu harus membuang kesedihan ini ke mana.
”Baiklah. Katakan padaku, ada apa sebenarnya. Aku berjanji akan berusaha memberikan solusi yang mungkin terbaik untuk kita berdua,” kataku.
”Tidak. Mas harus berjanji untuk menyudahi hubungan kita dan meninggalkanku. Berjanjilah jika engkau benar-benar mencintaiku,” tegasnya. Mimik Lastri tampak serius. Wajahnya menyimpan ribuan kecemasan.
Ia lantas menceritakan suami pertamanya yang meninggal pada malam ketika mereka akan berhubungan intim. Lastri bertutur sambil menahan rasa sedih yang tak terhingga. Sejurus kemudian, dia melanjutkan ceritanya.
Di tubuh sang suami tak ditemukan bekas luka apa pun. Bahkan, hasil otopsi dokter pun nihil. Ia diduga mati karena serangan jantung.
”Padahal, sejatinya aku melihat dia tengah diserang sebuah makhluk buruk yang aku sendiri tak tahu namanya dan dari mana datangnya,” ucap Lastri. Tangis pun pecah.
Aku berupaya menenangkannya. Ia pun melanjutkan kisah kematian suami keduanya yang tragis. Padahal, mereka baru menikah beberapa hari. Sepulang kerja, ketika hendak melintasi perlintasan sepur tanpa palang pintu, suami kedua Lastri itu tak menyadari datangnya kereta api cepat jurusan Jakarta–Surabaya. Tak pelak, tubuhnya terempas tanpa ampun oleh kereta api tersebut. Ia tewas seketika di lokasi kejadian. Tubuhnya sempat terseret beberapa puluh meter dari lokasi. Sepeda motornya hancur tak berbentuk.
Saat itulah aku kebetulan meliput peristiwa itu. Sempat aku saksikan tubuh korban yang telah ditutupi kertas koran dan darah yang berceceran di sekitar lokasi. Menyedihkan.
”Aku ini perempuan bahu laweyan.[ii] Si pembawa sial. Karena itulah, aku meminta Mas menjauhiku. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada dirimu. Berjanjilah padaku,” ucap Lastri.
***
”CINTA memang tanpa mata
hebatnya cinta butakan siapa saja...”
Potongan bait lagu Cinta tanpa Nama milik BIP itu menemani kegalauanku di kamar ini.
Asap rokok sesekali mengepul dan berusaha menenangkanku. Mataku tertuju pada potret perempuan di atas meja. Wajahnya tersenyum manis dan tak tampak seperti akan menerkamku.
Kuisap lagi rokok. Aku merasa seperti sebatang rokok yang jatuh cinta kepada tuannya. Takliq buta, membiarkan sang tuan mengambil bagian penting dalam hidupnya.
Ia pasrah jikalau menguap tak bermakna jika sampai di ujungnya.
Hanya meninggalkan sisa abu yang sebentar lagi hilang.
Bagiku, seperti itulah cinta yang sejatinya adalah energi luar biasa. Karena cinta, esensi hidup sebatang rokok menemukan tempat nyaman.
Ia akan selamanya memeluk lengket dalam tubuh sang tuan. Mengalir bersama darah.
Di sela-sela itu, aku hanya berdiskusi dengan bacaanku. Sebuah buku religi berada tepat di hadapanku. Sebuah ayat yang menenangkan terpampang terang.
”Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh. Yaitu, setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian di antara mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)”[iii]
Aku yakin setiap manusia terlahir dengan hak yang sama untuk mencintai dan dicintai. Soal hidup dan mati, itu adalah urusan Allah semata. Bukan bahu laweyan atau apa pun namanya yang menentukan kematian seseorang.
Setelah itu, aku buru-buru mengambil telepon genggamku. ”Lastri, kita akan tetap menikah. Aku sudah memikirkannya masak-masak apa pun risikonya. Bismillah.” (*)
Surabaya, 23 April 2011
[i] Umpatan dalam bahasa Jawa yang berarti sial.
[ii] Dalam perspektif Jawa, istilah bahu laweyan dipakai untuk menyebut perempuan yang memiliki ciri-ciri khusus pembawa sial.
Mitos itu berkembang pada abad IX. Dalam Serat Witaradya karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, konon bahu laweyan memang ada. Tetapi, jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Keberadaannya mulai diperhitungkan sejak 921 Masehi saat kejayaan Keraton Pengging Witaradya.
[iii] Dikutip dari Al-Quran Surat Al-An’am: 112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar